Jumat, 14 Agustus 2009

LIDAH BUAYA UNTUK OBAT SEMBELIT

Lidah buaya, seperti dikemukakan pakar kesehatan tanam-tanaman Prof Hembing, bukan hanya untuk kesehatan kulit. Namun berdasarkan penelitiannya, tanaman yang banyak digemari ibu rumah tangga sebagai tanaman hias itu bermanfaat lain.

Lidah buaya yang mempunyai nama latin Aloe vers, linn, adalah tanaman sukulen dari keluarga Liliaceae. Tanaman yang tahan terhadap kekurangan air ini dapat hidup di segala jenis tanah, baik tanah yang mengandung bahan organik dengan tingkat keasaman tinggi maupun tanah mineral.

Dia dapat ditanam dalam pot, bekas peralatan dapur seperti panci, kuali serta dapat juga tumbuh dengan baik di halaman rumah yang sempit. Berdasarkan penelitian, diketahui di dalam empulur lidah buaya yang terletak pada bagian sebelah dalam kulit, terkandung bermacam-macam zat gizi, seperti vitamin dan mineral, B1, B2, B6, niasin, vitamin C, kalsium, kalium, klor, natrium dan mangan. Di samping itu terkandung 18 asam amino penting antara lain lisin, asam aspartat dan histidin.

Lidah buaya bagi masyarakat Kalbar sangat dikenal luas, terutama pada Bulan Ramadhan. Sebab, ia dapat diolah menjadi minuman segar yang biasa dikenal dengan nama es cendol. Popularitasnya pun hampir menyaingi manisan kolang kaling.

Es cendol lidah buaya hadir di meja tamu pada saat Idul Fitri. es cendol lidah buaya disuguhkan dengan tampilan yang khas, seperti agar-agar. Prof Hembing pernah menuturkan, lidah buaya dapat menurunkan kolesterol tinggi. Diketahui pula lidah buaya dapat digunakan sebagai obat tradisional. bagi masyarakat Kalbar, tanaman ini biasa digunakan sebagai obat penurun panas, cacingan pada anak-anak, kencing manis, sembelit, wasir, batuk rejan serta muntah darah.

Dilihat secara fisik, tanaman ini memiliki ciri kulit hijau ditumbuhi duri. Ia sanggup mengundang perhatian karena khasiat yang terkandung di dalamnya. Karena itu pula tanaman ini dapat dikonsumsi.

Agar dapat dikonsumsi dan menjadi minuman segar, sebelumnya harus diperhatikan cara mengolahnya. Ada beberapa tahapan. Pertama, empulur lidah buaya harus dipisahkan dari kulitnya yang terasa pahit. Setelah itu, dipotong atau diiris-iris sesuai dengan selera, berbentuk persegi panjang atau dadu.

Agar ia tidak mudah hancur atau patah, setelah dipotong atau diiris, perlu dicuci dengan air yang telah diberi kapur secukupnya dan hanya dilakukan sesaat. kemudian dibilas dengan air bersih.

Tahap kedua, untuk menghilangkan lendir yang biasanya masih menempel pada potongan atau irisan empulur, masaklah air hingga mendidih. Seteal itu, potongan atau irisan empulur dituang ke dalam air yang telah mendidih. Kemudian segera anakat dan biarkan beberapa saat sampai panasnya berkurang.

Tahap ketiga adalah agar lidah buaya dapat disantap menjadi minuman segar yang terasa manis, istilah lainnya cendol lidah buaya, masak kembali air dan tambahkan gula secukupnya. Keluarkan dari air rebusan pertama dan ditiris, selanjutnya masukkan ke dalam air rebusan yang bercampur gula apabila telah mendidih. Biarkan beberapa saat, setelah itu angkat.

Untuk mengundang selera, biasanya ia dihidangkan dalam gelas yang beisi pecahan es batu. Jadilah ia es cendol lidah buaya. Hal ini biasa dilakukan para ibu rumah tangga dan masyarakat keturunan (Cina). bahkan terkadang ditambahkan pula air santan ke dalamnya, tapi biasanya tidak tahan lama karena santan mudah basi.

Es cendol lidah buaya ini dijual masyarakat keturunan Cina di pinggiran Kota Pontianak (Siantan), yang terletak berbaris sepanjang jalan menuju arah luar kota dengan bangunan-bangunan semipermanen, sebagai teman makan jagung bakar.

Ada pula yang menjualnya di kantin-kantin sekolah, fakultas dan di wilayah perkantoran. Para ibu rumah tangga juga biasa membuatnya sebagai minuman penghilang dahaga di rumah.

Minuman segar ini, yang biasa digunakan sebagai obat tradisional penurun panas atau mengobati lainnya, belum menjadi minuman yang dianjurkan untuk diminum para pasien di rumah sakit.Sebab belum pernah dilakukan penelitian yang intensif mengenai keberadaannya walaupun di Eropa dan Amerika lidah buaya telah dikomersilkan secara luas.

Tetapi jika berkonsultasi masalah kesehatan dengan dokter yang masih berdarah keturunan (Cina), ia tak segan-segan menawarkan obat tradisional mereka ini sebagai pelengkap resep yang dibuatnya.

Tanaman lidah buaya yang dijual di pasar, berasal dari kebun-kebun di pinggir kota Pontianak (Siantan). Ditanam secara tradisional pada lahan bergambut dan perawatannya pun sangat sederhana dengan cara manual.

Suatu saat investor berminat memberikan modal untuk membudidayakannya, tapi kelompok tani belum bersedia menyanggupi. Alasannya, keterbatasan ilmu di bidang pertanian, yaitu cara menanam yang baik serta cara pemasarannya. Petani merasa cara pembudidayaan yang selama ini dilakukan masih sangat tradisional, pemeliharaan dan perawatan pada tanaman masih seadanya.

Seorang petani lidah buaya bercerita, cara menanam dan merawat lidah buaya tidak sesulit yang diduga, karena jenis tanaman ini dapat tumbuh di segala tempat. Tanah subur dan sedikit lembab adalah media yang cocok bagi pertumbuhannya.

Agar menghasilkan daun dengan empulur yang tebal dan besar, enam bulan pertama disiram larutan urea dengan takaran satu sendok makan untuk 20 liter air dan diberikan setiap bulan. Pemupukan dihentikan sebulan menjelang panen. Tanaman dapat disuburkan pula dengan pemberiankompos atau pupuk kandang. Hindari penggunaan pupuk kimiawi dan pestisida, terlebih juka tanaman tersebut akan digunakan untuk obat.

Mengenai tata niaga, petani masih beranggapan jika tanaman lidah buaya dijual tanpa terlebih dahulu diolah menjadi minuman segar, harganya tidak sebanding dengan tenaga dan biaya yang mereka keluarkan.

Minuman lidah buaya biasanya dijual Rp 500 sampai Rp 600. untuk pemanis rasa, para ibu biasa menggunakan sari gula/induk gula sehingga akan lebih meringankan beban.

Namun di sisi lain dengan adanya usaha pembudidayaan tanaman lidah buaya secara besar-besaran, para petani masih sanksi apakah home industry ini dapat bersaing dengan jenis makanan serupa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar